MAKNA RITUS
DALAM SISTEM LINGKO LODOK MASYARAKAT MANGGARAI
Neka oke kuni agu kalo adalah sebuah
ungkapan yang sangat klasik dalam masyarakat Manggarai yang menujunkan bahwa
nilai budaya itu harus selalu dilestarikan. Namun di era perkembangan ilmu
modern, pengetahuan manusia mencapai lingkup yang paling luas banyak masyarakat
yang cenderung dan tertarik dengan gaya hidup modern tersebut.. Akibatnya ritus-ritus yang diwariskan oleh para leluhur semakin hari
semakin hilang. Hilangnya ritus-ritus tersebut membuat hubungan kita dengan
Tuhan, para leluhur, sesama dan alamsemesta semakin menyusut dan yang
berkembang adalah individualis. Padahal kalau kita melihat kembali ke belakang
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ritus-ritus tersebut adalah warisan
para leluhur demi kehidupan manusia (masyarakat Manggarai) itu sendiri. Manusia
tidak pernah hidup sendiri tanpa yang lain. Marthin Buber adalah seorang
Filosofis eksistensialisme pernah berketa bahwa bahwa kesempunaan “aku” karena
ada “:yang lain”.
Manusia akan
kehilangan identitasnya jika tidak menghayati nilai-nilai kebudayaan yang
merupakan sumber hidup manusia itu sendiri sejak dilahirkan, karena nilai-nilai
tersebut adalah pedoman hidup manusia di mana ia dilahirkan. Sir Edwar Burnet
Tylor adalah antropolog Inggris abad ke-19 mendefinisikan kebudayaan sebagai
hasil dari perpaduan berbagai hal yang membentuk kompleksitas yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan segala bentuk
kepandaian yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam Tulisan
ini penulis ingin menyorot sistem kepercayaan masyarakat Manggarai yang
terungkapa dalam ritus-ritus dalam sistem lingko
lodok (kebun sarang laba-laba) masyarakat manggarai. Sistem lingko lodok (kebun sarang laba-laba) masyarakat
Manggarai memiliki banyak ritus, tetapi di sini penulis membaginya dalam dua bagian
besar yaitu ritus sebelum panen dan ritus sesudah panen.
Ritus
sebelum Panen
Masyarakat Manggarai meyakini
bahwa sebelum menanam sesuatu di ladang atau sawah harus melakukan upacara adat
yang ritus wa’u wini (menanam benih).
Dalam acara ini masyarakat Manggarai menyembelih seekor ayam dan darahnya
dicampur dengan benih yang hendak ditanam. Inti dari acara ini adalah
memberitahukan kepada pemilik tanah bahwa pemilik kebun hendak menanam padi dan
jagung, sekaligus meminta perlindungan dari para leluhur terhadap tanaman yang
siap ditanam.
Setelah benih ditanam, pada bulan
November diadakan upacara labang cu’a.
karena pada bulan ini masyarakat Manggarai mulai penyiangan tanaman dan juga
menanam tanaman tumpang sari seperti kacang-kacangan, ubi kayu, ubi jalar,
talas dan sebagainya. Makna upacara
labang cua ini meminta sang pemilik tanah dan juga para leluhur untuk
menjaga tanaman yang sudah tumbuh sehingga terhindar dari berbagai macam
penyakit, bencana alam dan juga memberikan panen yang baik dalam bahasa
setempat kudut dani le latung agu woja.
Terakhir dari ritus sebelum panen
adalah kalok. Kalok dilaksanakan
menjelang musim panen (ako woja gog
latung). Bahan persembahan dalam acara kalok
ini adalah telur ayam, ayam jantan dan seekor babi. Telur ayam melambangkan tu’ak kapu (sebuah penghargaan) terhadap
pemilik tanah boleh dikatakan Allah
sendiri, roh para leluhur dan naga tanah. Putih telur itu dituangkan ke dalam
tanah sebagai penghormatan kepada ende
tana (bunda tanah) sebagai penjaga dan perlindungan terhadap bumi, kemudian
yang kuningnya diletakan di cakat[1],
untuk mempersembahkan kepada ema eta ata
ciri laing (Allah yang menciptakan segalanya). Setelah telur ini
dipersembahkan kemudian menyembelih ayam dan babi.
Tujuannya adalah sebagai tanda
terimakasih warga kepada Allah dan roh para leluhur atas perlindungan dan
pemeliharaan terhadap padi dan jagung selama satu tahun bekerja. Upacara kalok
ini dilaksanakan di pusat kebun dan dilakukan secara bersama-sama yang memiliki
bagian dalam lingko (kebun) tersebut,
dan nasi yang dimakan pada saat ritus kalok adalah kolo (nasi yang masak dengan menggunakan bambu), karena tu’a’ teno melarang tidak diperkenankan
masak menggunakan periuk.
Ritus Sesudah
Panen
Dalam tradisi orang Manggarai bahwa setelah memanen
hasil kebun, biasanya ada upacara syukuran yang disebutpenti.Penti adalah pesta adat masyarakat
yang bernuansa syukuran kepada Wujud Tertinggi, leluhur, dan roh-roh sebagai
ucapan terimakasih, syukuran atas hasil panen. Upacara penti ini dilakukan
dengan sukacita .Upacara ini juga sering disebut pesta tahun baru orang Manggarai,karena
pesta Penti selaludilakukan pada
pergantian tahun atau pergantian musim. Hal ini dapat kita lihat dalam
ungkapan, Penti weki-pesor beo reca
rangga-wali ntu’ang;na’a cekeng manga-curu cekeng weru (Syukur dari penduduk desa atau kampung kepada Allah
dan kepada leluhur karena telah berganti tahun, telah melewati musim kerja yang
lama dan menyongsong musim kerja yang baru). Jadi pada dasarnya pesta Penti merupakan syukuran terhadap Wujud Tertinggi ( Allah) atas hasil
panen.
Masyarakat
Manggarai menyadari bahwa seluruh hasil yang diperoleh dalam musim kerja
semuanya karena campur tangan Wujud Tertinggi (Allah Allah) yang datang melalui
para leluhur. Dia juga yang menjaga dan melindungi seluruh tanaman serta kehidupan
manusia. Orang Manggarai memiliki pandangan pokok bahwa leluhur adalah jalan
Allah, jembatan antara Allah dan manusia. Maka seluruh peristiwa hidup mereka
ditandai oleh adanya upacara memohon bantuan para leluhur untuk melindungi,
mengampuni dosa atau untuk bersyukur kepada Allah atas segala keberhasilan yang
telah tercapai.
Ada
beberapa isi dari pesta atau upacara penti setelah panen adalah sebagai
berikut: Pertama, syukuran Kepada Mori Keraeng (Allah). Menurut masyarakat Manggarai segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Mori Keraeng. Mori Keraeng yang menjadi pusat seluruh kehidupan
manusia, baik hewan mau pun tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu bersyukur kepada Allah
menjadi hal yang sangat penting. Pesta Penti
merupakan ungkapan umat manusia (masyarakat Manggarai) atas kebesaran kuasa
Allah dalam kehidupan mereka. Bagi masyarakat Manggarai manusia hanyalah sebagai
konsumen, penikmat dari ciptaan Allah.
Maka
dalam pesta Penti ini, masyarakat
atau warga kampung diajak untuk melihat lebih dalam atas kehidupannya yaitu
selalu bersyukur atas rahmat Allah dan segala kebaikan Allah terhadap manusia.
Tanpa kuasa Allah manusia tidak dapat menikmati apa yang sudah diciptakan-Nya.
Singkat kata bahwa pesta Penti mau
menunjukkan dan menyadarkan masyarakat Manggarai betapa pentingnya bersyukur
kepada Allah yang telah menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
Kedua, syukuran kepada Leluhur. Menurut masyarakat Manggarai, manusia
diciptakan oleh Allah melalui leluhur. Para leluhur mewariskan adat-istiadat dan
mendidik anak dan cucu-cucunya melalui adat-istiadat tersebut. Boleh dikatakan bahwa adat-istiadat merupakan sarana
pendidikan dari para leluhur untuk anak cucunya yang masih hidup. Mereka (masyarakat Manggarai) juga yakin bahwa
roh leluhurnya selalu menjaga mereka, baik anak dan juga cucu-cucunya. Juga
segala tanaman yang ada dikebun selalu dijaga oleh para leluhur. Oleh karena
itu sangatlah pantas para leluhur selalu diundang dan dihormati dalam pesta Penti.
Bersyukur
kepada leluhur merupakan penghormatan atas seluruh perjuangannya semasa ia
masih hidup. Inilah sebabnya bersyukur kepada leluhur adalah suatu tanda ucapan
terima kasih dari anak serta cucu-cucunya. Pesta Penti
ini juga menciptakan suasana kekeluargaan, baik dari manusia yang masih hidup mau
pun yang sudah meninggal. Melalui pesta Penti
ini seluruh warga diajak untuk mempertahankan hidup persaudaraan dan hubungan kekeluargaan.
Momen acara yang bernuansa syukuran ini dapat kita lihat makna kehadiran yang
lain dalam kehidupan. Bahkan upacarapenti
seperti ini menjadi saat untuk saling memaafkan, maka ada ungkapan yang merujuk
pada tindakan untuk menyelesaikan persoalan: neka na’as tombo da’at, neka imbi tombo nipi rantang beti celi, mai ga
anggom sanget tu’ang tombo agu sanget tu’ang wintuk kudut co’o mose ata di’an
nggerolon.(Jangan
dengar cerita lama yang jelek, jangan percaya cerita mimpi (gosip), jangan
sampai sakit, marilah merangkul semua kata-kata dan perbuatan untuk bagaimana
membangun hidup yang baik ke depan).
Ketiga, Syukuran kepada Roh-roh alam. Roh yang dimaksudkan di sini adalah
roh yang baik. Karena ada dua roh menurut pandangan masyarakat Manggarai.Pertama roh baik dan kedua roh jahat. Roh baik menurut masyarakat
Manggarai adalah roh-roh yang menjaga tempat-tempat sakral seperti kebun (lodok), mata air (ulu wae), mazbah persembahan (compang).
Dan roh jahat menurut mereka adalah roh-roh yang sering mengganggu kehidupan
manusia yang disebut poti. Tempat
tinggal roh jahat ini adalah di tempat yang angker,seperti pohon besar, batu
besar.
Bersyukur
kepada roh-roh alam, menjadi hal yang sangat penting karena roh-roh alam telah
membantu manusia untuk menjaga tanaman yang ada di dalam kebun (lingko). Dari sini, kita bisa melihat bahwa
relasi intersubjektif manusia masyarakat Manggarai bukan hanya berada pada relasi
manusia dengan manusia, tetapi juga relasi dengan roh-roh yang baik yang berada
pada dunia yang tak kelihatan (ata pele
sina).Maka kita boleh mengatakan bahwa manusia atau lebih tepatnya
masyarakat Manggarai memiliki suatu relasi yang tanpa batas, yaiturelasi yang
melampaui segala realitas. Artinya bahwa manusia tidak hanya berelasi dengan
manusia dalam dunia ini tetapi juga berelasi dengan seluruh realitas alam
semesta ini. Dalam relasi tersebutmanusia perlu menciptakan suatu kekeluargaan,
persaudaraan, dan kekerabatan yang sangat harmonis.
Penutup
Dari uraian di atas penulis, menemukan
suatu cara hidup masyarakat Manggarai yang sangat mengedepankan nilai
relasional antara sang pencipta/ Allah, para leluhur, sesama manuisa dan alam
semesata. Relasional tersebut sangat kuat membentuk satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Dalam relasi dengan
yang lain, masyarakat Manggarai melihat apa yang dilaur dirinya menjadi bagian
dari dirinya sendiri, karena masyarakat Manggarai tidak pernah lepas dari
kebersamaan dengan yang lain.
Mereka saling berelasi satu sama lain
seperti sarang laba-laba yang saling terikat antara yang satu dengan yang lain
dan mengalir dari satu titik pusat utama. Titik pusat utama dalam sistem lingko lodok (kebun sarang laba-laba)
masyarakat menyebutnya Sang Wujud tertinggi yang tidak lain adalah Allah
sendiri yang menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini.
Kesatuan dan kebersaman dengan yang lain
menjadi tanda dan syarat mutlak dalam membangun kebahagian dan keharmonisan
dalam hidup bersama. Dalam ritus sitem lingko
lodok (kebun sarang laba-laba), masyarakat Manggarai diajak untuk melihat
asal-usul, lingkungan yang ada di sekitar dan sejarahnya sehingga ia semakin
mengenal jati dirinya. Go’et-go’et (ungkapan-ungkapan) dalam
masyarakat Manggarai memperlihatkan suatu relasi yang sangat mendalam atau passion dengan yang lain. Melalui bahasa
kiasan yang penuh makna tersebut ditampilkan khazanah nilai-nilai hidup yang
luhur dalam relasi dengan yang lain. Sistem kerjasama juga merupakan bentuk
ungkapan kebersamaan dalam hidup dengan yang lain. Yang lain di sini lain
adalah soal relasi kepada Allah, para
leluhur, sesama manusia dan alam semesta yang harus diperhatikan,
dipelihara dilindungi, dan dijaga demi keharmonisan dalam hidup bersama.
Dengan demikian hidup dalam kebersamaan,
kesatuan, kekeluargaan dan persaudaraan adalah suatu kualitas mutlak yang tidak
bisa dihindari oleh masyarakat Manggarai sebagai makluk sosial. Sebab kehidupan
yang tentram, damai, sejahtera, dan harmonis adalah idaman semua masyarakat Manggarai.
Malang, 2016
Frederick Robinson
[1] Bdk. Kata cakat artinya sangkar tempat
meletakan kuning telur yang diempersembahkan kepada Tuhan Sang Pencipta (eme eta ata ciri laing).
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon