BENARKAH ALLAH ADA (Uraian dari Perspektif David Hume tentang Allah)



BENARKAH ALLAH ADA
(Uraian dari Perspektif David Hume tentang Allah)


1.      Pengantar

Filsafat empirisme adalah filsafat yang memiliki cara pandang berbeda dengan kaum rasionalisme. Titik tolak pengetahuan yang benar bagi kaum empirisme adalah pengalaman inderawi, sedangkan rasionalime adalah rasionya. Maka segala yang tidak tercerap oleh panca indera disangkal oleh kaum empirisme, termasuk Allah juga bisa di sangkal oleh kaum empirisme.  Berbicara tentang Allah dalam sejarah filsafat adalah suatu persoalan yang sangat besar, karena para filsuf selalu mencari kebenaran eksisitensi Allah sampai ada yang mengatakan bahwa Allah itu “ada” dan ada pula yang mengatakan bahwa Allah tidak “ada”. Lalu mana kebenaran mutlak tentang Allah?
David Hume adalah seorang filsuf empirisme yang sangat radikal. Hume mengatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya melalui panca indera. Allah bagi Hume hanya sebuah ilusi manusia karena Allah tidak bisa dicerap oleh panca inderawi manusia. Konsep pemikiran Hume, Allah hanya ilusi manuai membuat dirinya menjadi seorang skeptisme yang sungguh radikal.

2.      Riwayat hidup David Hume
David Hume dilahirkan dari keluarga Borjuis. Ayahnya adalah seoarang taun tanah yang kaya dan meninggal ketika Hume masih kecil. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Udinburgh, ia meminati studi klasik dan secara mandiri studi filsafat dan kesustraan.[1] Ia hidup pada abad ke 18 dan abad ke 18 adalah apa yang disebut dengan zaman pencerahan (enlightenment). Zaman pencerahan adalah zaman di mana akal budi manusia menjadi dominasi. Rasio di atas segalanya  bagaikan dewa. Pada zaman penceharan ini juga muncul banyak pemikiran yang sangat cemerlang, karena yang diutamakan adalah rasionalitas. Akibatnya adalah terjadi perubahan besar-besaran dalam bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan yang membawah perubahan yang sangat besar pula di seluruh dunia, dan juga muncul banyak ilmu pengetahuan seperti fisika, astronomi, fisiologi[2] berdasarkan pengamatan atau observasi yang mereka lakukan.
Pada zaman pencerahan, konsep pemikiran kaum emprisme adalah pengetahuan hanya melalui penemuan yang berdasarkan data dan fakta yang akurat dari pengalaman inderawi manusia, bukan semata-mata rasionalitas. Maka kaum empirisme untuk membuktikan adanya sesuatu melalui pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk meraih pengetahuan. David Hume yang adalah seorang empirisme tampil untuk mendobark konsep rasionalisme yang mendominasi di zaman pencerahan. Kaum empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman bukan rasio.  Hume memilih pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang benar yaitu lewat panca indera[3]. Hume adalah pelopor para empirisme yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.[4] Apa yang bisa dilihat, diraba, dirasa itulah pengetahuan yang benar.

3.      Latar  Belakang pemikiran David Hume
Munculnya sikap skeptis Hume, karena perihatin bahwa metafisika tradisional sangat kabur, tidak pasti, melebih-lebihkan, juga metafisika tercampur dengan dogma-dogma katolik, jargon-jargon politik dan tahkayul-takhayul rakyat. Hume ingin membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisis.
Skeptisisme mendasar dalam pemikiran Hume adalah sebagai serangan terhadap tiga front pemikiran. Pertama: Hume ingin melawan rasionalitas tentang ide-ide bawaan.[5] Gagasan ide-ide bawaan adalah cetusan dari pemikiran Rene Descartes yang sangat rasional mengenai Allah. Descartes mengatakan bahwa kita memiliki ide bawaan mengenai Allah, dan sebuah ide adalah akibat dari sebab (hubungan sebab akibat atau kausalitas). Kedua, Hume menyerang pemikir religius, entah katolik, aglikan atau penganut deisme yang percaya bahwa Allah membiarkan alam semesta ini berjalan mekanis tanpa campur tangannya. Agama masih percaya adanya sebab tertinggi dan Hume melawan ide kausalitas. Ketiga, Hume menyerang kaum empirisme yang percaya adanya substansi. Terhadap tiga hal di atas merupakan dasar kritik hume menganai eksistensi Allah.


4.      Kritik David Hume tentang Allah
Hume adalah seorang empirisme yang sangat skeptis terhadap agama tentang kebenaran eksistensi Allah. Pada dasar kritik Hume adalah menolak adanya substansi dan hubungan ssebab-akibat atau kausalitas,[6] bahkan dalam agama hubunagn sebab akibat atau kausalitas terjadi di jagad raya ini. Agama memetafisikkan kausalitas sebagai suatu kenyataan akhir yang disebut Allah[7]. Maka Hume sangat skeptis terhadap agama.
 Skeptisme Hume terhadap agama memunculkan beberapa kritikkan di antaranya sebagai berikut: Pertama, David Hume mengkritik deisme yang berkembang pada zaman pencerahan. Konsep deisme menjelaskan bahwa alam semesta ini bekerja mekanis seperti arloji dan Allah tidak lagi campur tangan dalam sejarah[8] dan bertitik tolak pada pengakuan adanya kausalitas (sebab-akibat), dengan kata lain Allah itu ada karena mereka mengakui adanya kausalitas. Aliran deisme melihat bahwa perancang tertinggi dari keteraturan dunia ini adalah Allah[9].
Hume menolak kausalitas berarti tidak ada hubungan sebab-akibat yang terjadi. Dengan demikian dunia ini tidak diciptakan oleh Allah tetapi mengalir begitu saja dari dirinya sendiri. Oleh karena itu segala ide mengenai Allah sebagai pencipta dunia menjadi runtuh. Bertolak dari penyangkalan eksistensi Allah, maka segala konsep yang bersifat dogmatis, mujizat, immortalitas dari jiwa dalam agama diragukan[10], sebab sejauh dapat ditangkap oleh indera bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang benar, sebaliknya jika tidak bisa di cerap oleh panca indera maka itu hanyalah ilusi manusia atau hanya proyeksi pikiran manusia.
Pertanyaan yang muncul jika Allah ada atau Allah adaah perancang yang mahabaik, maha sempurna mengapa ada kehancuran, kaejahatan, kerusakan, kelelahan, kegelapan dan aneka ketidakharmonisan?. Bagi Hume adanya kejahatan dan keburukan dalam dunia menjadi titik tolak untuk mengkritk deisme yang mengakui adanya Allah. Bagi Hume bahwa Allah hanya sebuah ide kosong atau ilusi dari manuisa dan sesungguhnya kita tahu tahu ada dan tidak adanya Allah.[11]
Kedua, Hume mengkritik ajaran deisme, Hume juga mengkritik kaum rasionalisme mengenai Allah. Hume menyangkal bahwa Allah bisa di buktikan dengan rasio. Bagi Hume rasio hanya kumpulan kesan-kesan belaka. David Hume juga menolak ide bawaan yang digagas oleh Rene Descartes. Bagi hume tidak ada ide bawaan seperti yang digagaskan oleh Jhon Lock. Hume beranggapan bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari penalaman inderawi saja. Karena itu tidak ada ide tanpa penginderaan. Manusia mendapat pengethuan hanya melalui pengalaman panca indera[12]. Penekanan Hume adalah pengalam inderawi adalah jaminan kevalidan suatu pengetahuan. Realitas dunia yang dihidupi saat sekarang adalah kebenaran, sedangkan dunia di luar realitas itu adalah nihil dan kita sendiri tidak memiliki pengalaman tersebut. Maka konsekuensi pengakuan bahwa Allah itu ada, bagi David Hume adalah suatu kebohongan, karena kebenaran itu ditinjau dari hasil pengalaman empirisme, yaitu apa yang tercerap oleh panca indera[13]. Apa yang diketahui secara pasti adalah sesuatu yang dapat di ukur dan dikaji ulang melalui pengalaman-pengalaman inderawi manusia sebagai adanya. Maka rasio bagi Hume adalah hanya kesan manusia saja yang membuat manusia bisa senang, gembira dan sebagainya.


5.      Mengkritisi terhadap pemikiran Hume
Filsafat Hume lebih menekankan pengalaman inderawi sebagai pengetahuan yang benar. Maka Hume menolak konsep para penganut deisme, mengenai kausalitas, karena kausalitas hanyalah kesan-kesan saja[14]. David Hume sangat radikal ketika berbicara tentang Allah. Allah bagi Hume adalah ilusi saja. Hume menjadi radikal karena menolak atau menyangkal eksistensi Allah sebagai penyebab segala yang ada. Segala yang ada di alam semesta ini mengalir begitu saja tanpa ada penyebab yang lain.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Hume sebenarnya membatah tentang Allah sebagai pencipta  tunggal dari alam semesta ini. Alam semesta ini sudah ada tanpa ada penyebab. Maka tidak mengherankan kalau manusia melihat alam ini  bukan sebagai gambaran dari kebaikan tertinggi yaitu Allah sendiri.  akibatnya adalah manusia bertindak secara bebas terhadap alami ini[15].
Hume juga selalu menekan aliran empirisme menjadi tumpuan untuk mencapai pengetahuan yang benar. Padahal filsafat empirisme kadang-kadang bisa menipu juga. Contoh sebatang kayu diletakkan di dalam kolam, kayu tersebut kelihatannya bengkok padahal kayu tersebut tetap lurus seperti semula sebelum diletakkan di dalam kolam. Dari sini kita menyimpulkan bahwa pengetahuan yang  didapat melalui pengalaman panca indera tidak selamanya benar. Bisa keliru seperti contoh di atas. Itu artinya bahwa pengalaman inderawi manusia masih mengalami keterbatasan. Panca indera hanya mampu melihat realitas yang tampak di dunia ini saja, sedangkan realitas yang ada di luar dunia tidak bisa dilihat oleh panca indera, tetapi hanya rasio yang bisa menganalisa dan mereflkesikanya. Maka sebenarnya filsafat yang digagaskan oleh Hume bisa jadi mengungkapkan keterbatasan manusia. Keteberbatasan manusia ketika pengalaman inderawi tidak direfleksinya, hanya berhenti pada apa yang dilihat saja. maka pengenalan akan pengetahuan yang didasarkan pada pengalam inderawi itu tidak selalu benar, sempurna dan bisa jadi pengalaman empirisme hanyalah tipuan saja atau nihilisme. Dengan demikian konsep Hume Allah hanya ilusi bisa jadi keliru atau belum tentu benar juga. Ini berarti Allah ada.


6.      Kesimpulan
Dari seluruh uraian penyangkalan Hume mengenai eksistensi Allah dapat disimpulkan bahwa Hume sangat kuat pada prinsip pengalaman inderawai sebagai pengetahuan yang benar, pengetahuan yang berada di luar pengalaman inderawi adalah kesia-sian (ilusi). Bagi Hume jika tidak ada kesan dalam pengalaman inderawi manusia, maka gagasan itu tidak bermakna. Kalau Allah tidak tercerap oleh panca indera itu barati kita tidak memiliki kesan tentang Allah, dengan demikian Allah hanya sebuah ilusi manusia. Allah hanya proyeksi pikiran manusia.  Dalam kritikan terhadap agama, bagi Hume Tuhan hanya ilusi dari pikiran manusia yang mengalami ketakutan. Ketika manusia takut ia selalu mencari perlindungan kepada yang lebih tinggi yang tidak ada bukti sama sekali.  Hume terlalu menekankan bukti empiris yaitu pengalaman inderawi sebagai pengatahuan yang bebar, yaitu apa yang bisa diraba, dirasa, dilihat dan sebagainya. Tetapi belum tentu semuanya itu benar, sebab kadang-kadang apa yang dicerap oleh panca indera bisa jadi hanya tipuan saja.




Daftar Pustaka


Hardiman, Budi, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia. 2007
Lavine.  T. Z.  Petualangan Filsafat dari Sokrates ke Sartre. Yogyakarta: Jendela. 1984
-------------. Risalah filsafat Empirisme. Yogyakarta: Jendela. 2003
Maksum. Ali.  Pengantar Filsafat “dari masa klasik hingga potsmodernisme”.   Yogyakarta: All-Ruzz Media. 2008
Valentinus, Diktat Kuliah Filsafat abad pertengahan, Malang: STFT  Widaya Sasana, 2014











[1] Budi, Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007,hlm 85
[2] T. Z, Levina, Risalah filsafat Empirisme, Yogyakarta: Jendela, 2003, Hlm 2
[3] Ali, Maksum, Pengantar Filsafat “dari masa klasik hingga posmodernisme”,   Yogyakarta: All-Ruzz Media, 2008, hlm  135
[4] Ibid, hlm 137
[5] Budi Hardiman,  Op Cit, hlm  87
[6] Ali, Maksum, Op Cit, hlm 135
[7] Budi, Hardiman, Op. Cit, Hlm 89
[8] Ibid, hlm 91
[9] T. Z, Lavine, Petualangan Filsafat dari Sokrates ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 1984, Hlm 169
[10] Budi, Hardiman, Op, Cit, Hlm 91-92
[11] T.Z Lavine, Op, Cit, Hlm 170
[12] Ibid, hlm  173
[13] Ibid
[14] Ali, Maksum, Op,cit, hlm 136
[15] Valentinus, Diktat Kuliah Filsafat abad pertengahan, Malang: STFT  Widaya Sasana, 2014, hlm 32
Previous
Next Post »